Siapa
yang tak kenal dengan jengkol? Bagi sebagian kalangan pecinta kuliner
Nusantara, komoditas pasar ini menjadi menu favorit di atas meja makan.
Namun, beberapa hari lalu ada kabar tak sedap dari jengkol. Di sejumlah
pasar tradisional, penjual dan pembeli sama-sama gempar: jengkol
tiba-tiba menghilang. Akibatnya, harganya pun melonjak—tanpa terkira,
hingga Rp60 ribu per kilogram.
Terang
saja heboh. Sebab, harga jengkol yang biasanya berada di kisaran Rp20
ribu per kilogram, kini harga itu telah jauh melampaui banderol daging
ayam—Rp25 ribu per kilogram.
Para
pihak pun sibuk menganalisis. Mulai dari pemerintah pusat, legislatif,
akademisi, hingga pedagang di pasar tradisional. Para pedagang di
kawasan Rangkasbitung, Banten, sempat melontarkan dugaan bahwa jengkol
menghilang lantaran pohonnya ditebang untuk memasok bangunan perumahan
maupun kerajinan rumah tangga.
Apakah dugaan terhadap kayu jengkol, yang memiliki nama ilmiah Pithecellobium jiringa tepat?
Nyaris seperti menyambut Hari Lingkungan Hidup pada 5 Juni lalu,
jengkol yang asli Indonesia telah memberikan kejutan. Sisi positif
kelangkaannya telah membuat kita tergerak untuk mengenal lebih jauh
tanaman yang termasuk jenis asli Indonesia itu.
Baso
Ardi dari Institut Pertanian Bogor pernah melakukan penelitian mengenai
kualitas kayu lapis dari kayu bulat berdiameter kecil dari jenis
jengkol pada 2011. Dari hasil penelitiannya, Baso menyebutkan, kayu
lapis yang menggunakan bahan baku dari batang kayu dari pohon jengkol
ternyata tidak memenuhi standar yang dipersyarartkan. Artinya, kualitas
kayu lapis itu kurang baik. Baso menyebutkan pula, kayu lapis dari kayu
berdiameter kecil seperti kayu jengkol masih dapat digunakan untuk
keperluan interior.
Berdasarkan
literatur, tanaman jengkol yang tumbuh di wilayah bagian barat
Indonesia ini batang kayunya masih dapat digunakan untuk kontruksi
ringan, papan sambung interior, furniture, lemari, kapal, dayung,
perabot rumah tangga, pegangan pisau, sarung senjata, kotak dan peti
mati. Kayu jengkol dapat juga digunakan sebagai kayu bakar.
“Kayu
jengkol tidak bagus untuk bahan bangunan. Batang kayunya paling panjang
empat meter (dari permukaan tanah) dan setelah itu terdapat
percabangan,” ujar Dr Ismayadi Samsoedin, ahli tanaman dan hutan kota
dari Badan Penelitian Pengembangan Kehutanan, Kementrian Kehutanan saat
dihubungi pada Minggu (9/6) oleh National Geographic Indonesia.
Ketika
kayu jengkol digunakan sebagai bahan baku furnitur, seperti kursi,
“Kayunya gampang kena bubuk. Ini serangga kecil yang pada waktu tertentu
keluar dari kayu jengkol itu. Jadi, artinya kayunya gampang terkena
serangan hama,” Ismayadi melanjutkan.
Menurut
Ismayadi yang telah membuat karya buku bertajuk “Hutan Kota dan
Keanekaragaman Jenis Pohon di Jabodetabek.” (bersama Tarsoen Waryono),
kayu jengkol di perdesaan bagian barat Jawa justru banyak digunakan
sebagai kayu bakar. Tanaman jengkol memang tumbuh paling baik di daerah
yang bermusim kemarau sedang dan tak tahan terhadap kemarau panjang.
Lantas, mengapa jengkol langka di pasaran?
Ismayadi
mengajukan pandangannya. Peneliti ramah yang besar di wilayah Cicurug,
Sukabumi, Jawa Barat ini menyebutkan, tanaman jengkol tidak ditanam
secara khusus oleh masyarakat desa. “Saya mengamati betul di Cicurug
sejak tahun 1960-an. Di sana pun tidak banyak orang menanam jengkol.”
Populasi tanaman yang sedikit inilah yang menyebabkan jengkol
menghilang. Padahal, tanaman jengkol termasuk tanaman dengan pertumbuhan
yang begitu cepat.
Selain
itu, menurut Ismayadi, jengkol sudah banyak diketahui memiliki beragam
khasiat yang baik untuk kesehatan kita. Buah jengkol mengandung unsur
Kalium yang tinggi dan berguna dalam menjaga fungsi jantung. Daunnya
dapat digunakan untuk obat diabetes setelah direbus dengan air dan
kemudian diminum.Sumber