TEMPO.CO, Jakarta -
Praktek perbudakan buruh pabrik panci di Kampung Bayur Opak, Desa Lebak Wangi, Kabupaten Tangerang, diduga karena motif ekonomi. Pemilik pabrik ingin untung besar dengan biaya yang sedikit.
"Sementara ini diduga motifnya ekonomi," ujar Kepala Kepolisian Resor Kota Tangerang, Komisaris Besar Bambang Priyo Andogo,
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Siane Indriani, mengatakan, buruh-buruh pabrik panci yang disekap selama enam bulan itu mengalami berbagai penyiksaan. "Buruh-buruh dipukul, ditonjok, dan disundut rokok," kata Siane kepada Tempo melalui telepon, Ahad, 5 Mei 2013.
Buruh-buruh ini, menurut Siane, dipekerjakan untuk mencairkan aluminium yang kemudian dibentuk untuk dijadikan wajan. Selesai bekerja, buruh pun dimasukkan ke ruangan dan dikunci dari luar. Penyekapan ini sudah berlangsung sejak tiga bulan lalu.
Menurut Siane, buruh-buruh tersebut dipekerjakan dari pukul 6 pagi hingga 10 malam. Hanya diberikan waktu sebentar untuk istirahat dan tidak diperbolehkan salat. Buruh yang ketahuan beribadah dan terlihat bekerja tidak rapi akan dipukuli.
Jika ada buruh yang sakit, mereka akan dipisahkan ke ruangan berbeda lalu disiram dengan cairan aluminium foil. Salah satu buruh yang pernah merasakan penyiksaan ini adalah Andi Gunawan, salah seorang buruh yang berhasil kabur.
Sebelumnya, menurut Siane, pabrik ini pernah didatangi Sobri, seorang lurah di Lampung yang memperjuangkan agar kasus ini terungkap. Akhir April lalu, Sobri pernah datang ke pabrik itu dan sempat bertemu dengan salah seorang buruh.
Buruh itu diperintah untuk mengakui bahwa ia merasa aman-aman saja dan betah bekerja di pabrik tersebut. Buruh yang diperintahkan untuk mengaku betah pun kemudian dipukuli tanpa alasan yang jelas.
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Kota Tangerang Komisaris Shinto Silitongan mengatakan penggerebekan pabrik panci alumunium di Desa Lebak Wangi, Kecamatana Sepatan, Kabupaten Tangerang, dilakukan setelah dua buruh yang berhasil kabur dan melapor ke Polres Lampung Utara dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dua buruh asal Lampung itu sudah bekerja selama empat bulan di pabrik itu. “Mereka kabur karena merasa mengalami siksaan, perlakukan kasar, penyekapan dan hak mereka sebagai pekerja tidak didapatkan,” kata Shinto, Sabtu 4 Mei 2013.
Kedua buruh laki-laki tersebut, kata Shinto, bercerita kepada keluarganya. Dan dengan difasilitasi lurah setempat, mereka membuat laporan resmi di Polres Lampung Utara pada 28 April 2013. Bos pabrik panci tersebut, YK alias Yuki Irawan, 41 tahun, dilaporkan telah merampas kemerdekaan orang dan penganiayaan yang melangar Pasal 333 dan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selain melaporkan ke polisi, keluarga korban juga melaporkan ke Komnas HAM. Hasil koordinasi Polda Metro Jaya, Polda Lampung, dan Polres Kota Tangerang akhirnya pabrik tersebut digerebak pada Jumat 3 Mei 2013 sekitar pukul 14.00.
Di lokasi pabrik polisi menemukan 25 orang buruh dan 5 mandor yang sedang bekerja. Yuki dan istrinya digiring ke Polres Kota Tangerang untuk dimintai keterangan. Polisi juga menemukan 6 buruh di antara mereka yang disekap kondisinya memprihatinkan. Pakaian yang dikenakan kumal dan compang camping karena berbulan bulan tidak ganti. ”Kondisi tubuh buruh juga tidak terawat, rambut cokelat, kelopak mata gelap, dan berpenyakit kulit,” kata Shinto. Mereka rata-rata tiga bulan tidak mandi dan tidak ganti baju, karena uang, telepon genggam dan pakaian dari kampung yang dibawa disita pemilik pabrik.
Sumber : Tempo .com