Awal turunnya kewajiban shaum Ramadhan
adalah pada bulan Sya’ban tahun kedua Hijriyah, atas dasar ini para
ulama berijma’ bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunaikan ibadah shaum Ramadhan selama hidupnya
sebanyak sembilan kali. ()
Ibnul Qayyim mengatakan dalam Zadul Ma’ad, bahwa
difardhukannya shaum Ramadhan melalui tiga tahapan :
1. Kewajibnya
yang bersifat takhyir (pilihan).
2. Kewajiban
secara Qath’i (mutlak), akan tetapi jika seorang yang shaum
kemudian tertidur sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan dan
minum sampai hari berikutnya.
3. Tahapan
terakhir, yaitu yang berlangsung sekarang dan berlaku sampai
hari kiamat sebagai nasikh
(penghapus) hukum sebelumnya.()
Tahapan awal
berdasarkan firman Allah I :
وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ
خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(
البقرة: ١٨٤)
Artinya :
” Dan wajib bagi orang yang berat untuk menjalankan ash-shaum
maka membayar fidyah yaitu dengan cara memberi makan seorang miskin
untuk setiap harinya. Barang siapa yang dengan kerelaan memberi makan
lebih dari itu maka itulah yang lebih baik baginya dan jika kalian
melakukan shaum maka hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian
mengetahuinya.” [Surat Al-Baqarah 184]
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Adapun orang yang sehat dan
mukim (tidak musafir-pen) serta mampu menjalankan ash-shaum diberikan
pilihan antara menunaikan ash-shaum atau membayar fidyah. Jika mau maka
dia bershaum dan bila tidak maka dia membayar fidyah yaitu dengan
memberi makan setiap hari kepada satu orang miskin. Kalau dia memberi
lebih dari satu orang maka ini adalah lebih baik baginya.”()
Ibnu ‘Umar [L] ketika membaca
ayat ini فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mengatakan : “bahwa ayat ini mansukh (dihapus hukumnya-pen)”.()
Dan atsar dari Salamah ibnu
Al-Akwa’ tatkala turunnya ayat ini berkata :
“Barangsiapa hendak bershaum
maka silakan bershaum dan jika tidak maka silakan berbuka dengan
membayar fidyah. Kemudian turunlah ayat yang berikutnya yang
memansukhkan (menghapuskan) hukum tersebut di atas.” ()
Secara dhahir, ayat ini
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ mansukh (dihapus) hukumnya dengan
ayat فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ sebagaimana
pendapat jumhur ulama ().
Tetapi dalam sebuah atsar Ibnu
‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau berkata :
“Ayat ini bukanlah mansukh
melainkan rukhshoh (keringanan) bagi orang tua (laki-laki maupun
perempuan) yang lemah supaya memberi makan seorang miskin untuk setiap
harinya.” ()
Berkata Al-Hafizh Ibnu Katsir :
“Kesimpulan bahwa mansukhnya
ayat ini وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
adalah benar yaitu khusus bagi orang yang sehat lagi mukim dengan
diwajibkannya ash-shaum atasnya. Berdasarkan firman Allah فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه Adapun orang tua yang lemah dan tidak
mampu bershaum maka wajib baginya untuk berifthor (berbuka) dan tidak
ada qadha` baginya”.()
Dan inilah tahapan
kedua. Tetapi jika seseorang bershaum kemudian tertidur di
malam harinya sebelum berbuka maka diharamkan baginya makan, minum dan
jima’ sampai hari berikutnya.
Tahapan ini kemudian mansukh
(dihapuskan) hukumnya berlandaskan hadits Al Barra’ t:
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ
rإِذَا كَانَ الرَّجُلُ صَائِمًا فَحَضَرَ اْلإِفْطَارُ فَنَامَ قَبْلَ
أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ
وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ الأَنْصَارِي كَانَ صَائِمًا فَلَمَّا حَضَرَ
اْلإِفْطَارُ أَتَى اِمْرَأَتَه فَقَالَ لَهَا : أَعِنْدَكِ طَعَامٌ ؟
قَالَتْ : لاَ لكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ – وَكَانَ يَوْمَهُ
يَعْمَلُ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ- فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمَّا
رَأَتْهُ قَالَتْ : خَيْبَةً لَكَ ! فَلَمَّا اِنْتَصَفَ النَّهَارُ
غُشِيَ عَلَيْهِ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِي rفَنَزَلَتْ هَذِهِ اْلأَيَةُ
: )أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
فَفَرِحُوا بِهَا فَرْحًا شَدِيْدًا فَنَزَلَتْ )وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ( [رواه البخاري وأبو داود]
Artinya :
“Dahulu Shahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam jika salah seorang di antara mereka shaum
kemudian tertidur sebelum dia berifthar (berbuka) maka dia tidak boleh
makan dan minum di malam itu dan juga siang harinya sampai datang waktu
berbuka lagi. Dan (salah seorang shahabat yaitu), Qois bin Shirmah Al
Anshory dalam keadaan shaum, tatkala tiba waktu berbuka, datang kepada
istrinya dan berkata : apakah kamu punya makanan ? Istrinya menjawab :
“Tidak, tapi akan kucarikan untukmu (makanan).” – dan Qois pada siang
harinya bekerja berat sehingga tertidur (karena kepayahan)- Ketika
istrinya datang dan melihatnya (tertidur) ia berkata : ” Rugilah Engkau
(yakni tidak bisa makan dan minum dikarenakan tidur sebelum berbuka-
pen) !” Maka ia pingsan di tengah harinya. Dan ketika dikabarkan tentang
kejadian tersebut kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka
turunlah ayat :
)أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ
الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ(
“Telah dihalalkan bagi kalian
pada malam hari bulan shaum (Ramadhan) untuk berjima’ (menggauli)
istri-istri kalian.”
dan para shahabat pun
berbahagia sampai turunnya ayat yang berikutnya yaitu :
)وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ(
“Dan makan serta minumlah
sampai jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”
Al-Bukhari Kitabut Tafsir hadits
no.4507; Muslim Kitabush Shiyamhadist no.
149 – [ 1145 ] dan Abu
Dawud Kitabush Shiyam, bab 2,
hadist no.2312
Peny : Sehingga dengan ini,
ayat (…وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيْقُونَهُ فِدْيَةٌ) masih tetap berlaku
hukumnya orang yang lanjut usia dan tidak mampu untuk bershaum,
dengan cara membayar fidyah. Namun bagi orang yang muda belia yang
muqim (tidak musafir) tetap wajib atasnya ash-shaum.