6. “Coba sekali-kali keluar rumah”
ni sudah pasti menjadi nasihat yang
seringkali Anda terima ketika berperan sebagai seorang gamer. Dengan
durasi gameplay minimal 8 jam hingga ratusan jam permainan, apalagi
ditambah dengan kemampuan untuk menyuntikkan berbagai elemen yang
adiktif, hidup gamer memang akan dengan mudah terserap ke dalam layar
monitor dan kontroler yang tengah mereka genggam erat. Kesenangan,
kepuasan, dan tantangan yang ia lahirkan membuat sebagian besar gamer
dianggap anti-sosial, terutama dari mereka yang non-gamer.
“Dipaksa” untuk lebih banyak menikmati
dunia luar, banyak orang awam yang seolah tidak memahami bahwa sumber
kesenangan gamer sangatlah sederhana. Tidak dengan bercerita banyak hal
dengan orang lain, tidak dengan berinteraksi dengan tetangga, tidak
dengan mendengar curahan hati teman, yang dibutuhkan oleh seorang gamer
adalah peran dan konklusi dari setiap game yang tengah mereka main.
“Coba sekali-kali keluar rumah” menjadi pilihan tidak rasional, seperti
merebut sumber kesenangan dari Anda secara instan.
5. “Reaksinya jangan lebay donk kalau ada game baru!”
Bagi seorang gamer, tidak ada momen yang
lebih menyenangkan selain menemukan fakta bahwa akan ada lebih banyak
game berkualitas yang muncul dalam hitungan hari atau minggu ke depan.
Jika game-game ini hadir dari franchise yang memang besar atau memang
sudah diantisipasi untuk waktu yang sangat lama, berteriak girang dengan
mood positif yang kuat tentu saja menjadi reaksi yang normal. Ini
seperti menemukan kembali air setelah masa paceklik dan kering yang
sudah berlangsung dalam waktu yang lama.
Namun bagi mereka yang awam, reaksi ini
dilihat sebagai sesuatu yang berlebihan dan tidak masuk akal. Mencintai
dan menanti kehadiran sebuah permainan digital dianggap absurd
dibandingkan menantikan sesuatu yang lebih fisik.
4. “Gua dulu pernah main Mario di Playstation”
Bagi non-gamer, tidak ada platform yang
berbeda, semua video game dilihat sebagai satu kesatuan yang sama. Bagi
mereka, semua platform adalah Playstation saat ini dan platform yang
lebih lawas adalah Nintendo, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, tidak
jarang jika Anda menemukan komentar aneh yang mungkin bertolak belakang
dengan pengetahuan dan pengalaman yang selama ini kita kenal.
“Gua dulu juga pernah main Mario di
Playstation”, menjadi salah satu contohnya. Tidak heran jika gamer
mengembangkan kebiasaan untuk memberikan koreksi setiap kali seperti ini
mengemuka di perbincangan ringan. Usaha untuk membeberkan pengetahuan
bahwa video game memiliki berbagai platform berbeda dengan game
eksklusif mereka masing-masing seringkali ditanggapi dingin. Respon yang
seringkali Anda dapatkan? “Ah..sama aja..”
3. “Itu kan cuman pedang digital, kok girang amat?”
daya tarik utama. Daripada sekedar
memberikan karakter yang memang sudah kuat sejak awal permainan, Anda
diminta untuk mengembangkan karakter lewat sistem leveling up,
memperkuat mereka seiring dengan lebih banyak pengalaman yang didapatkan
dan quest yang diselesaikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
keterikatan emosional dengan tiap karakter ini membuat banyak gamer yang
akan menyambut dengan senang hati sebagai item digital yang dapat
digunakan untuk memperkuat mereka.
Semakin langka, semakin tinggi pula
rasa puas dan senang yang dimunculkan. Bagi para orang awam, sikap
seperti ini tentu saja dilihat sebagai sesuatu yang aneh, apalagi
mengingat waktu dan tenaga yang harus dicurahkan untuk mendapatkannya.
2. “Ngapain main game kalau malah jadi stress?”
Pandangan umum bahwa video game hanya
dibangun untuk menghasilkan kesenangan semata memang dipandang dangkal
oleh para gamer. Mereka yang awam seolah tidak mengerti bahwa setiap
game dibangun dengan daya tarik yang berbeda-beda, termasuk tingkat
kesulitan yang ada. Tidak sedikit game yang alih-alih menawarkan
kesenangan, justru menghadirkan tantangan super sulit yang akan membuat
gamer manapun frustrasi dan menyerah di tengah jalan.
Namun fakta bahwa kita merasa stress,
frustrasi, dan marah karena tidak mampu menyelesaikan satu bagian game
ternyata dipandang aneh oleh mereka yang awam. Terbatasnya pengalaman
dan pengetahuan soal game melahirkan pemikiran yang satu ini. Cara
terbaik? Ajak mereka “menikmati” Dark Souls untuk jangka waktu tertentu.
1. “Ayo jalan, buruan! Save, terus matiin!”
Berapa banyak dari Anda yang pernah
mengalami kejadian ini, apalagi Anda yang sempat mencicipi game-game
lawas di platform generasi sebelumnya? Sebagian non-gamer sangat
mengerti bahwa Anda harus melakukan perintah SAVE untuk memastikan
progress permainan Anda tercatat dan tidak hilang. Namun yang tidak
pernah bisa mereka mengerti adalah fakta bahwa Anda membutuhkan SAVE
POINT untuk melakukannya.
Hasilnya? Ketika Anda terpentok jadwal
yang dianggap penting, mereka yang non-gamer tidak akan segan untuk
memaksa Anda untuk menghentikan permainan di kala jalan sembari
melemparkan kata magis “Save dulu aja!”. Ketika Anda berargumen bahwa
Anda butuh mencari save point terlebih dahulu sebelum dapat
melakukannya, Anda dicap sebagai pembohong dan hanya mengulur-ngulur
waktu tanpa bisa memperhatikan prioritas.
Kejadian yang sama juga ketika Anda
memperlihatkan mood yang berantakan ketika utnuk alasan yang tidak
jelas, save data Anda bermasalah atau hilang. Orang awam tidak akan
pernah memahami betapa penting dan berharganya kata “SAVE” dan “SAVE
DATA” untuk seorang gamer. Tidak ada hal dan jadwal yang lebih penting
daripada sebuah SAVE POINT ketika tengah memainkan sebuah game.